Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Grafiti Travel, Canopy Trail Ciwalen di Gunung Gede Pangrango




Jarum jam belum lagi di angka enam namun matahari sudah berani bersinar.  Agak terburu Suami Ganteng memacu si roda empat ke arah Puncak.  Menghindari macet, katanya.  Yup, sebagai warga Kota Hujan dengan domisili dekat Gadog, kami paham betul bahwa tiada week-end tanpa macet. Kawasan Puncak masih jadi primadona bagi orang-orang sekitaran Jabotabek yang mendamba hawa sejuk setelah sehari-hari diterpa panas dan polusi.

Setelah Pasar Cisarua, barulah kendaraan dibawa dalam kecepatan santai.  Jendela mobil kami buka. Pendingin kendaraan pun dimatikan.  Walaupun Puncak sudah tidak sedingin dahulu tapi tetap harus diakui kesejukannya masih terasa.  Kapan lagi bisa menghirup udara segar seperti ini ? 

Tujuan kami Sabtu itu adalah Cibodas, tepatnya Canopy Trail Ciwalen yang berada di Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.  Terpincut oleh gambar ini, ajakan saya untuk mendatangi tempatnya langsung diterima dengan senang hati oleh Suami Ganteng yang memang seneng outdoor activities.



Setelah berkendara hampir satu setengah jam maka sampailah kami di kawasan Taman Nasional Cibodas.  Itulah keuntungan pergi lepas subuh, traffic bisa dibilang lancar nggak ada mace.  Di pintu gerbang sebelum memasuki kawasan Cibodas, sudah dikenakan biaya.  Kami berempat plus mobil roda empat sekitar Rp 50.000.  




Basreng alias bakso digoreng


Memasuki area Cibodas, mata kami sudah disambut oleh jejeran warung makan.  Dan entah karena dari rumah belum sarapan atau hawa pegunungan yang fresh, bikin cacing-cacing di perut pada berteriak.  Untungnya di pelataran parkir Taman Nasional Cibodas banyak tersedia rumah makan tradisional.  Selain itu terlihat juga gerobak-gerobak penjual makanan seperti bubur ayam yang cocok banget menghangatkan perut di pagi begini.




Selain menjajakan makanan, rupanya rumah makan juga menyewakan kamar untuk pengunjung.  Jika diperhatikan dari deretan motor yang sudah terparkir rapih dari semenjak kami datang, kamar-kamar tersebut umunya disewa oleh pengendara roda dua yang kemalaman atau oleh pendaki gunung yang kelelahan setelah pendakian.  Kepo donk saya, pengen tahu seperti apa sih kondisi kamarnya.  Ternyata sederhana saja, hanya ada matras. 




Sambil menunggu pesanan makanan; bubur ayam dan si guilty food apalagi kalo bukan mie instan pake telor, saya lihat-lihat sekeliling.  Setelah diperhatikan, selain cireng dan cilok ternyata ada penganan yang namanya baso goreng.  Ukurannya lumayan besar dan dibelah empat.  Hasilnya si baso jadi mekar setelah digoreng.  Ada juga penjual makanan oleh-oleh mulai dari dodol, wajit hingga sale pisang.  

(Ki) Sale Pisang - (Ka) Kripik Bayam

Di tempat yang sama dijual pula keripik daun bayam aneka rasa.  Yang menarik saya adalah ukuran daun bayam yang besar-besar.  Dari sekian rasa; gurih, asin dan pedas; saya coba cicipi yang gurih.  Hmmm, not bad rasanya.  Mungkin melihat saya menikmati tester keripik bayamnya, si ibu penjual menawarkan lagi tester lainnya tapi saya tolak.  Bukannya malu tapi nanti saya kenyang nyicipin testernya aja, hehehe.





Kembali ke warung makan yang kami pilih, dalam sekejap pesanan hangat kami sudah berpindah tempat ke perut masing-masing.  Ngga ada yang bisa ngalahin kenikmatan sarapan makanan hangat di tengah cuaca yang sejuk begini.  Setelah bertanya pada pemilik warung ternyata lokasi yang kami tuju masih di atas lagi.  Area parkir yang kami datangi khusus untuk bis.  Untuk mobil pribadi diperkenankan untuk parkir tidak jauh dari gerbang utama Kebun Raya Cibodas. 

Dari parkiran sudah terasa jika kontur tanah menanjak.  Jika terus kita akan masuk ke Kebun Raya Cibodas, maka untuk ke Canopy Trail kita ambil arah ke kanan.  Agak naik sedikit, terbentang camping ground.  Ada banyak tenda-tenda besar seperti tenda yang biasa dipakai oleh militer tegak berdiri di sana.  Rupanya banyak juga yang camping, batin saya.

Baca papan info ini baik-baik



 Suami Ganteng menyapa seorang goweser.  
You know what, sang goweser itu dari Bandung, start malam hari, sekitar pukul 8 pagi sudah sampai Cibodas.  Niaattt !!!


Dan dari situlah perjalanan yang sesungguhnya dimulai karena dari tempat parkir hingga nanti kembali lagi, semuanya dilakukan dengan berjalan kaki ^_^. 


Journey starts from here

Jadi niy, untuk ke Canopy Trail kita kudu lapor dulu ke posko utama di mana posko tersebut adalah posko yang sama bagi para pendakian.  Dan kami baru tahu juga pada saat itu jika Canopy Trail ternyata sudah termasuk kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.  Yaelah, ketahuan kurang update !

Menuju posko


Selain persyaratan fisik [sehat, bukan pengidap jantung misalnya], pengunjung juga dikenakan biaya sebesar Rp 40.000/orang sebelum melakukan pendakian.  Karena track ke Canopy tidak sejalur dengan track pendakian, maka sangat disarankan untuk naik ke lokasi bersama jagawana [Rp 50ribu].  Awalnya Suami Ganteng enggan pake jasa jagawana, namun saya setengah memaksa.  Alasannya, jarak dari posko ke Canopy Trail hanya 500m dengan waktu tempuh 15 menit.  


Bapak ini sudah bekerja dari tahun 1989.  
Salah satu job des-nya bersihin sampah pendaki dari atas gunung !


Namun dari keterangan di posko, tidak banyak papan penunjuk menuju lokasi.  Nah, itu yang membuat saya bersikeras untuk memakai jasa pendamping.  500m tapi kalo nggak tahu jalan, bisa ngga jadi 15 menit, deh !  Ternyata memakai jasa jagawana bukan keputusan yang disesali sebab Pak Herman, demikian nama pendamping kami, berbaik hati dengan tidak pelit informasi.

Dan benar, tidak sampai 20 menit, kami pun tiba di Canopy Trail.  Ada papan peringatan bahwa kapasitas maksimal jembatan 350Kg atau setara 5 orang [dewasa].  Yup, jadi Canopy Trail adalah jembatan gantung terbuat dari besi yang membentang untuk menghubungkan tebing yang satu dengan tebing di seberangnya.  Tingginya sekitar 40m dan dibangun selama tiga bulan.  Karena kami ke sana ketika masih musim kemarau, maka yang terlihat hanyalah dasar tanah saja.  Jika musim penghujan, maka akan terlihat aliran air di bawah sana.  Bagi yang tidak suka ketinggian, kayaknya ngga disaarankan untuk ke sini deh, karena selain lumayan tinggi, selama kita berjalan di atasnya ayunan jembatan terasa banget ^_^.




Namun rupanya si Canopy Trail sudah menjadi daya tarik tersendiri dari Taman Nasional Cibodas karena selain rombongan kecil kami, kami bertemu rombongan-rombongan lainnya.  Baik keluarga maupun rombongan tour.  Asik juga sih, sebenarnya.  Puas berfoto di Canopy Trail, Pak Herman menyarankan kami untuk melihat air terjun Ciwalen.  Saya ingat, nama Ciwalen tertera juga di papan penunjuk yang bisa kita lihat sebelum memasuki kawasan Taman Nasional ini. 






Perjalanan dari Canopy Trail menuju air terjun Ciwalen juga tidak lama.  Sekitar 15 menit berjalan kami tiba di air terjun kecil.  Saya sebut kecil karena ketinggian air terjun tidak sampai 10 meter.  Namun airnya bening dan dingin.  Adek Ganteng langsung main air begitu kami tiba di situ.  Karena musim kering, maka kami bisa dekat sekali dengan air terjun.  Kalau musim hujan, jangan harap bisa sedekat ini, papar pak Herman.  Sebab airnya deras dan lumayan dalam.  




Oh ya, selama musim kering, ternyata ada larangan pendakian.  Alasannya untuk mencegah kebakaran hutan.  Daun-daun yang kering serta tumbuhan yang meranggas potensi menjadi konduktor jika ada api yang bersumber dari api unggun yang ditinggalkan oleh para pendaki gunung atau bahkan puntung rokok.  Lagian kok, bisa-bisanya ya, mendaki gunung sambil ngerokok ?

Tidak lama kami di Curug (bahasa Sunda untuk air terjun) Ciwalen. Matahari pun beranjak naik, namun hawa sejuk pegunungan masih sedikit terasa.  Saya pikir sampai di situ jalan-jalan kami.  Ternyata Suami Ganteng mengajak untuk naik lagi ke atas; tepatnya ke air terjun Cibeureum.  Heh ?!  Belalak saya.  �Tanggung, mumpung lagi di sini.  Sekalian aja.  Kapan lagi, coba ?�  bujuknya.



Keinginan Suami Ganteng pun diamini oleh pak Herman.  Tidak jauh kok, hanya 1,5 jam saja, ujarnya.  Jalan kaki 1,5 jam nggak jauh ?  Buset deh !  Mirip kasus paralayang, akhirnya saya pun nyerah dan Curug Cibeureum pun jadi destinasi selanjutnya. 



Banyak ditemukan papan info sepanjang jalur tracking, baik info mengenai flora maupun fauna


Karena jasa pendamping hanya untuk rute Canopy Trail saja, maka pak Herman tidak turut menemani kami ke Curug Cibeureum.  Beliau hanya mengantarkan kami hingga persimpangan jalan yang mana saya lihat papan penunjuk jalan; ke kiri [atas] ke arah curug dan ke kanan kembali menuju posko.

Tanpa pendamping kami pun mulai melangkah.  Lagipula jika jalannya seperti ini, maksud saya jalanannya tidak terlalu menanjak malah relatif datar, it shouldn't be bad , batin saya.

But I was completely wrong.  100% totally wrong !

Betul sih, jalan setapaknya sudah diatur rapih dari batu alam.  Tapi nanjaknya itu lho !  Di 15 menit pertama, kami terus dihajar oleh tanjakan terjal.  15 menit kemudian, jantung saya berdebar lebih cepat tanda kerja jantung lebih cepat.  Muka udah panas cenut-cenut.  Waduh, saya panik.  Ini gejala fisik kalo saya mau pingsan.  Ngga lucu deh.  Akhirnya minta istirahat, stop dulu.  Minggir di tepian tracking path.  Sambil minum bekal air mineral, saya atur nafas perlahan-lahan.  


Istirahat sejenak, banyak-banyak bawa bekal air mineral


Saya lihat Adek Ganteng dan Kakak Cantik, mereka kelihatan baik-baik saja.  Syukur lah.  Beda dengan Emaknya yang nyaris tepar (^_^).  Setelah beberapa saat dan merasa lebih baik, rombongan kecil kamipun bergerak lagi.  Kali ini mengikuti saran Suami Ganteng yang memang waktu masa SMA hingga kuliah sering naik gunung.  Beda sama gw yang lebih milih bobok daripada diajak jalan nanjak seperti ini.  Kalo hiking jalannya datar sih, saya oke-oke aja.  Tapi kalo pake nanjak ?  Beeuuddd ...

Setelah lewat masa transisi, detak jantung saya kembali normal dan sudah bisa mengikuti ayun langkah kaki yang lambat karena kontur jalan selalu nanjak.  Kadang nanjaknya terjal, kadang tidak, variatif juga siy.  Kami berjalan di bawah naungan pohon-pohon yang tinggi.  Membuat teduh walau udara kering kemarau membuat suhu menjadi kering, cenderung membuat tubuh cepat lelah.  Masih banyak babi hutan dan binatang-binatang hutan umumnya berkeliaran, walau mereka jarang menampakkan diri, demikian yang saya ingat dari cerita pak Herman sebelumnya.




Track yang naik dan naik lagi mengingatkan saya akan lagu Naik-naik Ke Puncak Gunung.  Gile benerrr, emang naik beneran.  Ngga ada yang ngga naik.  Beberapa kali kami berhenti untuk istirahat. Suami Ganteng tetap sabar menemani walau untuknya ini adalah track yang biasa saja mengingat dia pernah mendaki Gunung Kerinci yang tingginya sekitar 3.800 MDPL itu.  Eaaa !!

Akhirnya kami tiba di bagian yang datar.  Asli, ngga ada tanjakan.  Di titik ini, Gunung Gede nampak menjulang tinggi walau samar karena tertutup awan.  Di titik ini pula banyak yang foto-foto walau panas sudah menyengat walau matahari belum lagi di puncaknya.  Sengatan  khas matahari jika kita berada di  dataran tinggi.




Akhirnya, ada yang datar juga


Sebelum tiba di air terjun, ada telaga yang dinamakan Telaga Biru.  Adanya ganggang yang berwarna biru memberi efek biru pada danau seluas hampir 5 hektar di ketinggian sekitar 1.500 MDPL ini. Nah, saat kami ke sana yang terlihat adalah warna  permukaan air danau yang kehijauan namun tetap bening.


Telaga Biru

Dari sini perjalanan tidak lama lagi menuju Curug Cibeureum.  Lagi-lagi, ketemu tanjakan dong! Akhirnya setelah hampir 1,5 jam berjalan [nanjak], tiba juga kami di Curug Cibeureum.  Walau bukan musim libur, tapi pengunjung tidak bisa juga dibilang sedikit.  Dan semuanya rela jalan nanjak demi si air terjun ini.



Sayangnya waktu itu sedang musim kemarau (oh iya, kami pergi bulan Oktober kemarin) maka debit airpun tidak banyak.  Sehingga air terjunnya bisa disebut kecil.  Belum lagi tanah yang kering dan berdebu membuat perjalanan tambah melelahkan.




Ada dua curug terlihat di air terjun Cibeureum.  Saya ngga tahu persisnya yang mana yang disebut sebagai air terjun Cibeureum.  Dibandingkan Canopy Trail, pengunjung lebih banyak yang menghabiskan waktu di sini.  Selain mushala, tersedia pula bilik-bilik kamar mandi yang bisa digunakan untuk mandi selepas main air di curug ini.




Ada naik ada turun.  Jika perjalanan menuju air terjun naik selalu, maka perjalanan kembali ke posko serasa jalan bebas hambatan lagi kosong.  Lancar jaya.  Saking lancarnya, beberapa kali nyaris  jatuh tersandung kaki sendiri hehehe.

Mungkin karena lebih santai, dalam perjalanan turun kami berhenti dulu di sisi aliran kali kecil.  Waktu pergi tadi tak terperhatikan.  Mungkin karena fokus pada tanjakan :)

Sambil berfoto, menyempatkan diri untuk membasuh muka.  Lumayan banget untuk menyegarkan diri di kala hari yang makin terik.




Ketika kami tiba di posko, jarum jam sudah lewat tengah hari.  Hampir pukul satu siang.  Pantas saja cacing-cacing ini sudah berteriak lagi.  Maka tukang nasi uduk yang membuka lapaknya di salah satu sudut posko langsung kami tuju.  Paling tidak untuk ganjel perut dulu.



Kelihatan mana yang lapar beneran, mana yang lapar sinyal ^_^


Selain keluraga kami, ada juga rombongan mengerumuni penjual nasi uduk berikut aneka gorengan.  Selintas mendengan pembicaraan mereka, nampakanya adalah mahasiswa.  Rupanya kami semua merasakan hal yang sama.  Mulai dari Canopy Trail - Curug Ciwalen - Curug Cibeurem memakan waktu kurang lebih 5 jam untuk perjalanan sejauh +/- 6 Km betul-betul menguras tenaga.  Salut untuk Adek Ganteng yang walaupun sering mengeluh 'capek' tapi sanggup terus jalan kaki hingga kembali ke posko.  Keren kamu, Dek !

Tidak jauh dari posko, berdiri tegak papan pengumuman yang berisikan ini juga saya menemukan kalimat bijak yang memang pas banget ditujukan pada para pendaki pengunjung Gunung Gede Pangrango.




Sebagai pengingat diri bahwa hanya kenangan yang patut kita bawa.  Biarkan keindahan alam berada di tempatnya, where they're belong.  Janganlah merusak alam.  Karena pada alamlah kita kembali. Dengan sering melakukan aktivitas di alam terbuka seperti hiking ini mungkin bisa jadi upaya kita untuk menumbuhkan rasa kasih pada alam.

Tertarik untuk coba hiking ?  Ada tips ringan dari saya.

  • Pastikan kondisi tubuh sehat.
  • Sebaiknya isi perut dahulu sebelum beraktivitas, minimal 1 jam sebelumnya.
  • Bawa bekal secukupnya saja untuk perjalanan hiking.  Disarankan lebih banyak membawa air mineral.  Kami membawa air putih 5 botol @1,5L, sedikit biskuit dan roti.
  • Memakai peralatan yang sesuai untuk jalan kaki.  Jika tidak punya sepatu khusus hiking, paling tidak sepatu olah raga.  Kami berempat memakai sepatu olah raga.
  • Bawa obat-obat pribadi.  Saya bawa minyak kayu putih.
  • Memakai baju yang nyaman dan ringan.  Tidak disarankan memakai jeans. Lebih baik celana bahan yang tebal seperti celana kargo.  Anak lelaki dan suami memakai celana kargo, sedangkan saya memakai celana olah raga.


Happy hiking !

Post a Comment for "Grafiti Travel, Canopy Trail Ciwalen di Gunung Gede Pangrango"