Grafiti Travel, 1-Day With Jakarta Corner part-2
Sudah baca bagian ke-1 nya ?
Supaya nyambung bacanya, diharapkan baca dulu tulisan sebelumnya *strongly suggested* ^_^
Terik panas hari itu rupanya berefek besar pada rasa lapar terlebih dahaga. Itupun jika tidak diteriaki oleh panitia -eh, siapa panitianya ?- tepatnya mba Dini, PR cantik dari pihak sponsor yaitu Grand Zuri Hotel BSD City, mungkin kami masih asik berpose di Musium Bahari.
Terik panas hari itu rupanya berefek besar pada rasa lapar terlebih dahaga. Itupun jika tidak diteriaki oleh panitia -eh, siapa panitianya ?- tepatnya mba Dini, PR cantik dari pihak sponsor yaitu Grand Zuri Hotel BSD City, mungkin kami masih asik berpose di Musium Bahari.
Zuri Express Hotel
Memahami sekali para peserta yang sudah kelaparan walau sudah diganjel snack box pagi tadi, maka kendaraan pun segera diluncurkan ke Zuri Express yang masih berada dalam naungan Grand Zuri Management. Jika Grand Zuri BSD terletak di BSD [ya ealaahhh !], maka Zuri Express berlokasi di Jalan Mangga Dua Dalam No. 55-56, Mangga Dua Selatan. Di tempat ini kami akan ishoma alias Istirahat - Sholat - Makan Siang.Sesuai dengan namanya, hotel kategori low budget ini tidak persis berada di jalan utama. Jika kita berada di Jl. Pangeran Jayakarta atau jalan raya utama, kita harus belok dulu ke jalan yang lebih kecil namun hal tersebut tidak menjadikan hotel ini sepi pengunjung. Selain letaknya yang tidak sulit ditemukan, Zuri Express relatif dekat dengan pusat perkulakan terbesar di Jakarta yang namanya sudah dikenal oleh wisatawan baik dalam negeri maupun asing; tidak lain Pasar Mangga Dua.
Zuri Express Mangga Dua
Rupanya Sabtu siang siang itu yang menikmati sajian prasmanan di restoran Kopi Express bukan hanya rombongan kecil kami dan tamu yang menginap.
Ada juga rombongan dari group-group meeting yang melaksanakan pertemuannya di sana. So, walaupun judulnya budget hotel namun Zuri Express dapat dijadikan sebagai tempat rapat juga. Nggak disangka, penampakan hotel yang tidak besar ini punya empat function room.
Usai ishoma, kami pun diajak tour-de-hotel oleh Hotel Manager yaitu Bapak Arief Rahmatullah yang ramah lagi ganteng ^_^
Tipe kamar Zuri Express
Tidak seperti Grand Zuri yang memiliki beberapa tipe kamar, Zuri Express hanya punya satu rate harga saja dimana harga kamar sudah termasuk sarapan. Yang beda hanya jenis tempat tidur; twin bed [lihat gambar dengan detil ornamen hijau] dan single bed [gambar dengan detil ornamen orange]. Keunikan lain Zuri Express adalah ukuran kamar yang relatif luas untuk ukuran kamar budget hotel yang umumnya imyut-imyut. Ukuran kamar rata-rata mencapai 30 M2. Hal tersebut guna mengakomodir kebutuhan penginap hotel di mana banyak diantara mereka menjadikan kamar hotel sebagai 'gudang sementara' setelah berbelanja di Pasar Mangga Dua. Rupanya tidak sedikit penginap yang merupakan pedagang daerah yang sering membeli kebutuhan bisnis dagangnya di Jakarta. Demikian papar sang manager hotel yang wajahnya mengingatkan saya pada musikus kondang Addie MS tersebut.
Tertarik untuk menginap, silahkan lakukan reservasi di link berikut ini.
Foto bersama crew Zuri Hotel Grup. Bapak Arief yang pake seragam abu-abu
Perut kenyang, badan pun sudah segar kembali, mari kita lanjutkan perjalanannya !
Dari utara Jakarta, kendaraan sekarang mengarah ke Tangerang. Ada 3 spot yang kami tuju di sana; Mesjid Seribu Pintu, Benteng Heritage dan Klenteng Boen Tek Bio. Jika sesi pagi sarat sejarah maka sesi kedua nampaknya agak-agak religi gitu ^_^.
Mesjid Seribu Pintu
Rupanya travel time hingga ke tempat ini dari Mangga Dua cukup makan waktu. Kami tiba di sini kira-kira sudah pukul empat sore. Nyaris dua jam dari Zuri Express. Yang terbayang oleh saya ketika mendengar Mesjid Seribu Pintu, layaknya bangunan mesjid yang biasa ditemui dan memiliki banyak pintu. Mirip-mirip dengan Lawang Sewu-nya Semaranglah. Namun semakin mendekati lokasi apalagi setelah melihatnya bentuk aslinya, bayangan itu tergantikan sudah.
Mesjid ini terletak di tengah pemukiman yang relatif padat. Lokasinya tidak dapat dicapai oleh kendaaraan kami yaitu minivan. Lebih mudah jika menggunakan sepeda motor. Mobil ukuran kecil nampaknya masih memungkinkan mengingat lebar jalanan yang hanya cukup untuk satu mobil. Untuk sampai di mesjid ini, rombongan harus berjalan kaki selama kurang lebih lima belas menit.
Tampak muka Mesjid 1000 Pintu
Rupanya mesjid ini dibangun seperti rumah tumbuh, demikian pengamatan amatir saya akan konstruksi bangunan. Rumah pendiri mesjid, sekarang ditempati oleh keturunannya, menjadi satu dengan rumah ibadah muslim yang nampaknya berkembang ke segala penjuru mata angin bahkan hingga ke atas. Begitu banyaknya ruangan menyerupai bilik menjadikannya disebut sebagai Mesjid Seribu Pintu. Walau sebenarnya tidak ada pintu dalam bentuk fisik.
Sayangnya bangunan tidak dikonsep dengan baik dan seksama. Lantai bawah yang juga merupakan pintu utama dan tempat bertamu tidak memiliki ventilasi yang baik menjadikan ruangan-ruangan menjadi lembap dan memiliki cahaya natural di kala siang hari. Aroma khas udara lembap menyambut manakala menginjakkan kaki ke ruangan. Semakin masuk ke dalam, semakin terasa. I don't really like though, unfortunately. Curiosity kills the cat, that's what they're sayin. Dan rasa penasaran itulah yang tetap membawa saya beserta teman-teman lainnya untuk masuk walaupun timbul juga perasaan 'lain' yang timbul, hihihi.
(Ki) Pintu masuk ke Mesjid 1000 Pintu - (Ka) Pintu utama ke tempat ziarah
Di sisi lain, nampak bagian yang terbengkalai belum selesai dibangung. Mungkin sudah lama tak dikerjakan hingga nampak tembok-tembok yang ditumbuhi lumut. Minimnya sumber penerangan menambah suasana jadi berbeda dengan mesjid-mesjid yang biasa dikunjungi. Alih-alih kedamaian tempata ibadah, yang ini kok berasa spooky ? ^_^
Setelah berbincang dengan pengurus mesjid, ada semacam kebiasaan yang harus dilakukan jika kami ingin mengeksplor mesjid ini. Pengunjung diminta untuk melakukan ziarah dan doa bersama dengan dipandu oleh seorang kyai terlebih. Dan di ruangan tempat kami berdoa itu, pengunjung dilarang menggunakan kamera [apapun !].
Banyak bilik serupa ini, tak berpintu
Untuk tidak mengambil foto, saya masih bisa memaklumi. Tapi syarat yang lain yaitu 'ziarah' bertentangan dengan nurani. Daripada berdebat, saya memutuskan untuk keluar saja. Tidak ikut dengan beberapa kawan yang masih ingin melanjutkan. Entah bagaimana negosiasi yang dilakukan, akhirnya kami diijinkan untuk melihat-lihat tanpa harus melakukan kebiasaan setempat. Namun saya sudah patah arang. Memilih untuk duduk-duduk di luar mesjid, menghirup udara yang lebih segar dibandingkan di dalam.
Di momen itulah, tiba-tiba disuguhi pemandangan yang udah lama banget ngga saya dapatkan. Pertarungan antara dua ekor ayam ! (^_^). Kamera pun beraksi. Berhubung ilmu panning saya masih dodol, maka maafkan jika hasil jepretannya kurang ok.
Mengingat lokasi mesjid menyatu dengan perkampungan padat maka wajar saja jika terlihat anak-anak kecil bermain di sekitaran. Yang tidak terlintas adalah ketika rombongan beranjak pulan, kumpulan anak-anak itu mengekor dan mulai berkomunikasi dengan kami yang pada intinya adalah meminta sedekah. Waduh, sayang sekali ya. Anak-anak yang menurut taksiran saya berkisar antara 5-7 tahun itu sudah memiliki mental yang sedemikan rupa. Logikanya, mereka tidak akan melakukan itu jika tidak ada yang mendorong mereka 'kan ?
sumber @Travelerien
Benteng Heritage dan Klenteng Boen Tek Bio
Walau masih di Tangerang, hari nyaris Maghrib manakala mobil van diparkir di kawasan Pasar Lama, Tangerang. Untungnya Benteng Heritage letaknya berdekatan dengan Klenteng Boen Tek Bio. One stone hits two birds.
Menurut penuturan mba Donna Imelda, mulanya Benteng Heritage ini adalah rumah penduduk asli Tionghoa yang diyakini sebagai cikal bakal komunitas Cina Benteng di kawasan Tangerang. Oleh Udayana Halim, rumah yang juga merupakan salah satu bangunan tertua di Tangeran tersebut dibeli pada tahun 2009 untuk kemudian difungsikan sebagai musium sekaligus tempat kediaman,
Sebetulnya ketika rombongan tiba, jam operasional sudah tutup. Jika kami tiba sebelum pukul 16:00, dipastikan kami masih punya waktu untuk melongok koleksi-koleksi antik Tionghoa yang dipajang di dalam. Kombinasi setengah memaksa dan memohon, akhirnya kami diijinkan masuk dengan syarat hanya di area ruang tamu. Mungkin putri sang pemilik musium jatuh kasihan melihat muka kami yang udeh kucel bin lecek, hehehe.
Took a quick snap then rombongan langsung ngacir ke Klenteng Boen Tek Bio yang berjarak sepelemparan batu dari Musium Heritage. Oh ya, dua lokasi ini letaknya persis di tengah Pasar Lama Tangerang. Tepatnya pasar tradisional. Mungkin jika bisa bicara, pasar ini akan bercerita bagaimana suasana pasar di jamannya dulu. Suasana dan tata letaknya mengingatkan saya akan Pasar Bogor di Jl. Suryakencana Bogor. Mirip banget. Di sebelah Pasar Bogor juga ada Vihara Dhanagun. Mungkin sudah begitu ya, settingan kebiasaan Tionghoa. Ada pasar, ada klenteng dan bisa dipastikan di situ juga pemukiman mereka tinggal.
Beda dengan musium yang sudah sepi, suasana klenteng malah ramai banyak orang beribadah. Segal usia nampak. Dari yang udah susah jalan hingga anak-anak usia remaja berseragam sekolah. Mungkin mereka berdoa untuk diberi kemudahan menjelang ujian ^_^.
Ketika kaki melangkah masuk area klenteng, tetiba dibisiki oleh Mas Salman yang sedari musium jadi teman berjalan saya. "Mba, kalau mau foto, jangan ambil dewanya, ya. Nggak boleh. Lainnya aja". Oh, oke. Untung dikasih tahu. Kalo ngga....
Matahari sudah tak terlihat. Kamipun bergegas pergi. Hanya ambil foto sekedarnya di tempat ini sebagai bukti bahwa saya sudah pernah ke tempat ini. Salah satu spot yang memang ingin saya datangi sejak lama cuma belum terlaksana mengingat jarak yang cukup jauh. Dan Tuhan mengabulkannya lewat tulisan saya ini yang dianggap layak oleh tim penilai hingga dapat imbalan jalan-jalan gratis seperti ini. Alhamdulillah.
Matahari sudah jatuh, gelap menjelma namun itu bukan akhir dari acara karena puncak acaranya, yaitu pemberian hadiah dari blog competition akan dilakukan pada saat makan malam di Hotel Grand Zuri BSD City.
Sebelum menikmati makan malam, saya sempatkan dulu mandi di fasilitas fitness and spa hotel di lantai 3. Lumayan, menyegarkan badan dan menghilangkan keringat hasil ngebolang seharian.
Mongolian BBQ adalah menu yang dihidangkan. Karena temanya bakar-bakaran, maka kami ditempatkan di bagian teras Cerenti Restoran.
Akhirnya saat yang dinantikan pun tiba; yaitu pembagian voucher menginap sebagai hadiah blog competition hasil kerja sama Jakarta Corners dengan pihak Grand Zuri BSD City Hotel. Ada 6 pemenang dari 33 peserta dan saya termasuk dalam 6 orang tersebut.
Hubungan saya dengan Grand Zuri BSD City nampaknya belum berakhir malam itu karena voucher menginapnya akan saya pakai menginap di sana dengan anak-anak dan suami. Yippiiii !
Tunggu cerita saya berikutnya dengan Grand Zuri BSD City, ya !
Menurut penuturan mba Donna Imelda, mulanya Benteng Heritage ini adalah rumah penduduk asli Tionghoa yang diyakini sebagai cikal bakal komunitas Cina Benteng di kawasan Tangerang. Oleh Udayana Halim, rumah yang juga merupakan salah satu bangunan tertua di Tangeran tersebut dibeli pada tahun 2009 untuk kemudian difungsikan sebagai musium sekaligus tempat kediaman,
Tampak depan Musium Benteng
Jalan pasar yang becek
Sebagian isi Musium Benteng
Sebetulnya ketika rombongan tiba, jam operasional sudah tutup. Jika kami tiba sebelum pukul 16:00, dipastikan kami masih punya waktu untuk melongok koleksi-koleksi antik Tionghoa yang dipajang di dalam. Kombinasi setengah memaksa dan memohon, akhirnya kami diijinkan masuk dengan syarat hanya di area ruang tamu. Mungkin putri sang pemilik musium jatuh kasihan melihat muka kami yang udeh kucel bin lecek, hehehe.
Tampak depan Musium Benteng
Pintu depan Musium Benteng
Took a quick snap then rombongan langsung ngacir ke Klenteng Boen Tek Bio yang berjarak sepelemparan batu dari Musium Heritage. Oh ya, dua lokasi ini letaknya persis di tengah Pasar Lama Tangerang. Tepatnya pasar tradisional. Mungkin jika bisa bicara, pasar ini akan bercerita bagaimana suasana pasar di jamannya dulu. Suasana dan tata letaknya mengingatkan saya akan Pasar Bogor di Jl. Suryakencana Bogor. Mirip banget. Di sebelah Pasar Bogor juga ada Vihara Dhanagun. Mungkin sudah begitu ya, settingan kebiasaan Tionghoa. Ada pasar, ada klenteng dan bisa dipastikan di situ juga pemukiman mereka tinggal.
Klenteng Boen Tek Bio
Api lilin yang tak boleh padam
Ketika kaki melangkah masuk area klenteng, tetiba dibisiki oleh Mas Salman yang sedari musium jadi teman berjalan saya. "Mba, kalau mau foto, jangan ambil dewanya, ya. Nggak boleh. Lainnya aja". Oh, oke. Untung dikasih tahu. Kalo ngga....
Matahari sudah tak terlihat. Kamipun bergegas pergi. Hanya ambil foto sekedarnya di tempat ini sebagai bukti bahwa saya sudah pernah ke tempat ini. Salah satu spot yang memang ingin saya datangi sejak lama cuma belum terlaksana mengingat jarak yang cukup jauh. Dan Tuhan mengabulkannya lewat tulisan saya ini yang dianggap layak oleh tim penilai hingga dapat imbalan jalan-jalan gratis seperti ini. Alhamdulillah.
Matahari sudah jatuh, gelap menjelma namun itu bukan akhir dari acara karena puncak acaranya, yaitu pemberian hadiah dari blog competition akan dilakukan pada saat makan malam di Hotel Grand Zuri BSD City.
Grand Zuri BSD City
Hanya berselang sekitar 2 minggu, saya balik lagi ke Grand Zuri BSD City. Kali ini untuk menerima hadiah hasil tulisan saya.Sebelum menikmati makan malam, saya sempatkan dulu mandi di fasilitas fitness and spa hotel di lantai 3. Lumayan, menyegarkan badan dan menghilangkan keringat hasil ngebolang seharian.
Aneka pililhan Mongolian BBQ
Mongolian BBQ adalah menu yang dihidangkan. Karena temanya bakar-bakaran, maka kami ditempatkan di bagian teras Cerenti Restoran.
Yeay, pastaa !!
Dibakar dulu, baru disantap ^_^
Akhirnya saat yang dinantikan pun tiba; yaitu pembagian voucher menginap sebagai hadiah blog competition hasil kerja sama Jakarta Corners dengan pihak Grand Zuri BSD City Hotel. Ada 6 pemenang dari 33 peserta dan saya termasuk dalam 6 orang tersebut.
sumber @Travelerien
sumber @Travelerien
Hubungan saya dengan Grand Zuri BSD City nampaknya belum berakhir malam itu karena voucher menginapnya akan saya pakai menginap di sana dengan anak-anak dan suami. Yippiiii !
Tunggu cerita saya berikutnya dengan Grand Zuri BSD City, ya !
Post a Comment for "Grafiti Travel, 1-Day With Jakarta Corner part-2"