Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Grafiti Travel, A Piece of (hi)story; Dibalik Nama Lawang Saketeng

dibalik-nama-lawang-saketeng


Setiap pergantian waktu kalender versi apapun -sebut aja berdasarkan agama, kepercayaan atau masehi selalu disambut meriah-  termasuk perayaan Tahun Baru Cina atau sering disebut Imlek. Mumpung sebentar lagi Imlek, untuk tahun 2016 ini tepatnya jatuh tanggal 9 Februari, saya ambil momentum ini untuk cerita sedikit tentang kawasan Pecinan terbesar di Bogor.


Di Bogor sendiri sudah beberapa tahun terakhir, Imlek dirayakan besar-besaran dan pernah saya posting panjang di blog ini.  


Biasanya kegiatan Imlek dipusatkan di Jl. Suryakencana.  Dari literatur sejarah yang saya temukan ternyata Jl. Suryakencana atau sekarang sering dilafalkan menjadi Surken saja ini merupakan bagian dari karya fenomenal Gubernur Jendral Belanda Daendels yang menghubungkan Anyer - Panarukan sejauh hampir 1.000 Km yang konstruksinya dimulai pada tahun 1808.

Sebelum dinamakan Jl. Suryakencana di awal tahun 70-an oleh Pemda Bogor, ruas jalan ini sendiri mengalami beberapa kali perubahan nama ketika masa kolonial Belanda.

Sebagai bagian dari kebijakan pemerintahan Belanda yang kental dengan politik pecah-belah (devide et empera) maka Bogor pun mengalami hal yang sama.  Kawasan sepanjang Jalan Suryakencana sepenuhnya menjadi lokalisir pemukiman etnis Cina.  Etnis Arab dipusatkan di kawasan Empang (belakang Bogor Trade Mall sekarang), sedangkan khusus kaum Belanda ditempatkan di sekitaran Taman Kencana.  Kalau Anda tahu toko Pia Apple Pie sekarang, nah di situlah lokasi Taman Kencana.



Perbesar skala peta jika nama Jl. Lawang Saketeng tidak nampak


Ruas Jl. Suryakencana yang membentang kurang lebih 1 Km itu sendiri mempunyai cabang-cabang. Salah satunya adalah Lawang Saketeng.  Dari awal mula saya mendengar nama ini, sudah menghadirkan tanya di benak Ratna kecil.  Sebagai anak Sunda yang dibiasakan berbicara dalam Bahasa Sunda dalam lingkungan keluarga, saya mengerti bahwa lawang berarti pintu.  Sedangkan Saketeng?

Dari cerita almarhum Bapak, saya jadi tahu asal-muasal nama itu.  Konon, dahulu jika orang melewati jalanan tersebut, setiap pejalan harus membayar sejumlah kompensasi sebesar saketeng. Jangan tanya konversi dalam rupiahnya berapa ya?  Soalnya ngga tahu hehehe.  Juga ngga jelas apakah pungutan tersebut legal atau tidak.  Kalau ilegal, berarti praktek palak-memalak sudah ada dari jaman dahulu.  Kalaupun legal, artinya konsep membayar retribusi untuk pemakaian jalanan seperti jalan tol ternyata juga udah dikenal dari dulu.  Hanya beda bentuk aja, ya?

Di literatur sejarah lainnya, disinyalir lawang di sini merupakan salah satu pintu gerbang utama menuju Keraton Pajajaran di mana setiap pelintas dipungut biaya. Pintu gerbang lainnya berada di Lawang Gintung.  Tuh 'kan, ada kata-kata "lawang"nya juga.  Jika demikian maka informasi tersebut menguatkan posisi Bogor pernah menjadi pusat Kerajaan Pajajaran, salah satu kerajaan terbesar di Pulau Jawa sekitar abad ke 15.

Kembali ke istilah saketeng, walaupun kemudian tidak berfungsi sebagai pos cukai namun nama itu demikian melekat sampai akhirnya dijadikan nama jalan seperti yang kita kenal sekarang.


Jl. Suryakencana tempo doeloe
Image from Travel.detik.com


Walau jaman sudah berganti namun kondisi Jalan Lawang Saketeng masih jauh dari suasana asri. Entah kenapa, ruas jalan ini selalu basah dan becek terlebih di musim hujan.  Sampai sekarang Lawang Saketeng masih menjadi pemukiman keturunan etnis Cina.  Di tempat yang sama pun kini dikenal sebagai sentra penjualan ikan asin dan hasil bumi Kota Bogor.  Aroma ikan asin yang kental menguar, menambah kesan kumuh lagi kotor. Too bad.

Tapi saya juga punya kenangan akan tempat ini.  Dulu sekali, Ratna kecil sering diajak Mama belanja ikan asin di sini.  What a memory :)

Sayangnya lagi model bangunan sudah banyak berganti rupa, sudah jarang penampakan rumah tradisional Cina diganti oleh bentuk bangunan model sekarang.  Namun sejarahnya jangan dilupakan.

Jika sejarah hanya diceritakan, jika sejarah tidak dituliskan, tak ayal akan hilang sebagaimana orang-orang dari jamannya.  Dan saya mencoba menuliskannya sedikit di sini untuk lebih memahami kota yang saya tinggali.


Postingan ini diikutsertakan dalam rangka 




References

Post a Comment for "Grafiti Travel, A Piece of (hi)story; Dibalik Nama Lawang Saketeng"