Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Grafiti Travel, Telisik Imlek di Pecinan Bogor


telisik-imlek-di-pecinan-bogor



What do you miss the most from your late parents? 
As my both parents already passed away, what I miss from them are stories. Yup, their stories !
Story about their childhood, story about their youth. Including story about city we live in; Bogor.
And this post is story on how I remember about their childhood.  The story is bridging me with the past and current time.  People is not time traveler.  Story is.

***

Di salah satu grup WA yang saya ikuti ada pemberitahuan bahwa tanggal 22 Feb 2016 besok Bogor potensial macet total sehubungan dengan perayaan Cap Go Meh. Seperti yang sudah-sudah, sebagai rangkaian perayaan Tahun Baru Imlek diadakan perayaan Cap Go Meh yang acaranya berupa pawai kesenian dengan panggung atraksi sepanjang Jl. Suryakencana. Kabarnya festival rakyat tahun ini bakalan lebih lebih ramai dibandingkan yang lalu. Selain akan diisi oleh pelaku seni yang mencapai seribu orang. Keamanannya juga akan ditingkatkan mengingat orang nomor 1 Indonesia bakal hadir. 

Wew, tak terbayangkan bakalan seperti apa suasananya. Saya jadi ingat ketika menghadiri Festival Cap Go Meh tahun 2014.  Walaupun judulnya Cap Go Meh namun acara tersebut diisi berbagai atraksi mulai dari kirab bendera oleh pelajar pililhan sekota Bogor.  Diikuti pula oleh komunitas seni tradisional Sunda Kota Bogor menjadikan acara tersebut milik seluruh warga kota tak terbatas milik etnis Tionghoa semata mengingat acara tersebut merupakan rangkaian acara perayaan Tahun Baru Imlek.


Kemeriahan acara dua tahun lalu juga ditonton oleh pengunjung dari luar Kota Bogor. Berdasarkan jumlah penonton bahkan hingga ditulis oleh media cetak sebagai Perayaan Imlek terbesar di Indonesia.  Menyaingi perayaan sejenis di Singkawang, Kalimantan.  Padahal komunitas etnis Cina terbesar di Indonesia tercatat ada di pulau tersebut.  Saking padatnya penonton, saya dan suami bahkan memberanikan diri naik mobil pemadam kebakaran demi mendapatkan tempat yang leluasa untuk memotret. It was not a perfect spot but good enough for capturing pictures.  Lumayan, gak perlu berdesakan dengan pengunjung lain yang menyemut di jalanan.


Image from @JakartaCorners


Saat menonton pesta rakyat tersebut dua tahun lalu, saya jadi ingat cerita almarhum Bapak.  Menurut beliau, pertunjukkan barongsai adalah hal yang biasa dilihat di daerah pertokoan Pasar Bogor dan sekitarnya (baca Jl. Suryakencana).  Barongsai kerap dipertontonkan pada khalayak di area tersebut tak terbatas pada tahun baru semata seperti yang kita pikir sekarang.  Jika ada toko baru dibuka di sekitaran Pasar Bogor, dipastikan akan ada barongsai.  

"Jadi barongsai bukan cuma untuk Tahun Baru Cina aja, Pak?" tanya saya ketika itu.  Oh ya, Bapak meninggal 3 tahun yang lalu.

"Ari jaman Bapak leutik mah, henteu da. Amun aya toko anyar muka, pasti aya barongsai na. Jelema pada pajejel.  Bapak oge osok mimilu nonton".
(Waktu jaman Bapak kecil dulu, nggak tuh. Kalo ada toko baru buka, pasti ada juga barongsai. Banyak orang yang nonton, termasuk Bapak).

I see.
Kirain itu barongsai cuma muncul pas event tahun baru aja.  Rupanya tidak juga karena menurut kepercayaan, barongsai juga diyakini sebagai pembawa keberuntungan usaha/bisnis.  

Sayangnya segala yang berbau Cina "mati" diberangus rejim Soeharto.  Bapak bilang, semenjak Orde Baru berkuasa, tidak ada lagi tontonan barongsai di daerah Pasar Bogor.  Padahal suka ada pembagian ang pau, lanjut Bapak lagi.

Maka ketika di suatu Sabtu tepatnya 6 Februari 2016 saya menunggu teman-teman dari Jakarta Corners di depan Vihara Dhanagun persis di sebelah pertokoan Pasar Bogor, ingatan saya pun kembali ke masa lalu.

Waktu saya kecil, penampakan Pasar Bogor berupa bangunan tingkat dua.  Tidak berdiri tinggi megah seperti sekarang.  Di depan bangunan pasar juga masih ada satu dua pohon.  Angkot sudah ada, tapi berupa bemo.  Jumlahnya pun tidak memadat seperti angkot yang kita jumpai sekarang. Untuk jarak dekat, orang biasa pake delman.  

Kalo kita rame-rame anter Mama ke pasar, biasanya pada nunggu di mobil aja.  Ngga ada yang mau blusukan masuk pasar.  Bau, begitu alasan saya dan dua kakak saya :D.  Nah, biasanya, Bapak parkir mobil di muka Vihara Dhanagun.  Jadi nih, setelah sekian puluh tahun, vihara yang dulunya cuma bisa saya intip-intip dari luar dengan keinginan tahuan seorang anak usia sekolah dasar, akhirnya bisa saya masuki.  

Padahal dari dulu sudah curious.  Pengen tahu setengah mampus lihat bagian dalam vihara atau biasa kami sebut sebagai klenteng itu, seperti apa.  

"Ihh, kita mah, ngga boleh masuk !" Demikian jawaban yang kerap saya terima jika bertanya bolehkah masuk ke dalamnya.

"Kenapa ngga boleh ?"
"Ya, pokoknya ngga aja."
End of discussion.

Dan vihara pun ibarat forbidden city, penuh misteri.  Ditambah dengan gerbang viharanya yang selalu rapat tertutup.


Vihara Dhanagun

Hingga pagi itu.  Tidak cuma masuk dan lihat bagian dalam Vihara Dhanagun, malahan sampai foto-foto pulak !   Vihara yang dulu nampak menyimpan sejuta misteri, kemarin itu ramah terbuka sebagaimana gerbangnya yang terbuka lebar.  Entah perasaan saya yang lebay atau karena Imlek menjelang maka vihara seolah menyambut setiap langkah yang menuju ke sana.  



Pak Ayung penjaga vihara pun ramah menyambut dan tidak pelit berbagi informasi.  Umat yang datang silih berganti memanjatkan permohonan pun tak menggubris kehadiran kami yang umumnya sibuk mengambil gambar. Baru tahu juga jika vihara tersebut melayani tiga ibadah berbeda. Selain Konghucu, Vihara Dhanagun juga dipakai sebagai tempat ibadah oleh pemeluk Budha dan Tao. 




Masuk ke dalam vihara, mata kita akan disambut oleh relief legenda Sun Go Kong di tembok sisi kiri. Sebelum memasuki pintu vihara, di sebelah kanan dan kirinya berdiri tungku pembakaran kertas uang-uangan yang dipercaya setiap nominal dari asap kertas-kertas tersebut menjadi bekal bagi leluhur di alam sana.    


Itu dia penampakan si tungku


Ada empat daun pintu vihara.  Dua daun pintu yang dipasang di tengah dihiasi oleh gambar muka prajurit.  Raut muka dengan kombinasi yang unik menurut saya.  Ramah dengan sorot mata yang tajam, seakan memperingati kaki-kaki yang hendak melangkah masuk agar beribadah dengan benar. Dari lawang pintu, sudah terlihat kesibukan di dalam vihara.


Lukisan pada daun pintu masuk vihara

Warna merah perlambang kebaikan mendominasi interior vihara.  Pada beberapa ornamen, warna tersebut dikombinasi dengan warna kuning emas dan hijau (kemakmuran).  Pilar-pilar vihara dihiasi oleh naga yang mendongak ke atas langit.  Gambaran yang tepat sebagai simbol kekuatan menopang bangunan vihara.



Di langit vihara terlihat banyak lampion berwarna merah berayun dimainkan angin.  Jika diperhatikan dengan seksama, terbaca nama-nama di bagian kartu yang menggantung di bagian bawah lampion.  da beberapa yang familiar; setelah saya ingat-ingat ternyata itu adalah nama-nama toko yang ada di Kota Bogor.  Rupanya itu adalah nama-nama penyumbang lampion. Jadi lampion dipasang atas pemesanan para jemaat.

Lampion dipercaya dapat menghindari dari kejahatan.  Maka lampion yang memancarkan warna merah berarti terhindar dari kejahatan dan selalu beruntung di masa yang akan datang.  Sama halnya dengan lilin-lilin yang menyala.  Sebagai social statement; ukuran lilin menandai kemakmuran dan kesuksesan bisnis si empunya lilin serta seberapa besar yang dia rela 'sumbangkan' untuk society.


The Altar

Hmm, satu lagi budaya tua dunia yang penuh dengan bahasa simbol.


Vihara Mahabrahma

Ada dua vihara yang masuk dalam agenda #TelisikJalurNaga yang dirancang oleh Jakarta Corners. Selesai dengan Vihara Dhanagun, tempat selanjutnya adalah Vihara Mahabrahma.  Kenapa Vihara Mahabrahma dipilih sebagai spot kedua padahal ada beberapa vihara lainnya berada di Kota Hujan ?

Hal tersebut karena vihara ini mempunyai posisi khusus bagi warga pecinan Bogor.  Selain Dhanagun, Vihara Mahabrahma merupakan tempat tujuan beribadah dalam rangkaian perayaan Imlek warga Tionghoa Bogor.  Entah kebetulan atau tidak, saya melihat pasangan ibu-anak yang berdoa di Vihara Mahabrahma juga sebelumnya melakukan hal yang sama di Vihara Dhanagun.




Tidak seperti Dhanagun atau vihara-vihara lainnya yang terletak di pusat keramaian.  Maka lokasi vihara yang satu ini cukup unik.  Letaknya di tengah pulau.

Hah, ada pulau di Kota Bogor yang unyil itu ?
Yup, ada !

Sebenarnya yang dimaksud pulau di sini adalah delta seluas 3,5 HA di aliran Sungai Ciliwung yang terbelah dan kemudian menyatu kembali tepat sebelum aliran air memasuki kawasan Kebun Raya Bogor.

Untuk menuju ke Pulo Geulis (Pulau Cantik) dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau .... naik motor :D

Siang itu, lepas dari Vihara Dhanagun, rombongan memilih berjalan kaki menuju Pulo Geulis yang letaknya di daerah Babakan Pasar.  Dari spot pertama kami memotong jalan lewat bagian belakang Pasar Bogor atau yang dikenal sebagai Jl. Roda.  Berjalan kaki menyuguhkan pemandangan yang beda.  Selain bau khas pasar tradisional, dengan berjalan kaki rombongan juga tak melewatkan bangunan unik yang menilik dari bentuknya bukan berasal dari kekinian.


Bangunan dengan arsitektur Belanda ? 


Rumah dengan bubungan khas Cina


Di rumah dengan bubungan khas Cina, malah kami sempat foto bermacam gaya.  Mau lihat hasil foto-fotonya ?  Bisa dilihat di TL @JakartaCorner ^_^




Sayangnya saya lupa mencatat waktu berapa lama jarak tempuh dari Dhanagun ke Pulo Geulis.  Tapi tidak jauh, kok.  Hanya saja sinar terik matahari hari itu membuat perjalanan jadi melelahkan. Hingga akhirnya kami mengarah pada gang kecil yang hanya cukup dilalui oleh sepeda motor.  Dan sampai di ujung jembatan yang menandai bahwa kami sudah mendekati tempat tujuan.


Kawanku Dwina, berpose dulu sebelum menyebrang


Tidak seperti di Dhanagun, pengurus vihara nampaknya betul-betul mempersiapkan diri atas kehadiran rombongan kami.  Terlihat dari bangku plastik yang disusun rapi berikut fritters alias gorengan dalam piring di atas meja.  By the way, goreng combronya enak pisan euy !

Tidak lama setelah peserta berkumpul, seorang bapak yang memperkenalkan diri sebagai Pak Bram mulai menceritakan asal muasal Vihara Mahabrahma ini.  Dari penuturan Pak Bram atau Pak Abraham yang ternyata pemuka masyarakat setempat; tempat ini di masa Kerajaan Pakuan Pajajaran digunakan sebagai tempat tetirah raja beserta keluarga dan terlarang untuk umum.




Keberadaan vihara baru diketahui oleh umum setelah ditemukan oleh tim ekspedisi Belanda pada tahun 1704.  Padahal niat awal tim tersebut adalah mencari jejak peninggalan Kerajaan Sunda Galuh.

Yang unik dari vihara ini adalah selain digunakan sebagai tempat peribadatan kaum Tionghoa, di tempat yang sama juga kerap dipakai sebagai tempat beribadah kaum muslimin.  Sebut saja pengajian malam Jumat, perayaan Maulid Nabi dan hari-hari besar umat Islam lainnya juga digelar di vihara ini.


Sesaji yang jadi bukti lintas agama

Jika menjelang Imlek maka warga muslim Pulo Geulis bergotong-royong membersihkan vihara. Maka menjelang Lebaran tiba, warga non-muslim akan menyediakan makanan yang bebas dikonsumsi -iya, gratis- oleh warga sekitar vihara.

Tidak ada yang ingat persis kapan praktek lintas agama ini dimulai.  Namun dengan adanya vihara di tengah petilasan Kerajaan Pakuan Pajajaran berikut ditemukannya batu besar yang diyakini sebagai batu menhir bukti peninggalan dinamisme.  Ditambah ladi dengan adanya makam di bagian dalam vihara yang dipercaya sebagai makam salah satu kahurun Sunda (tetua Sunda) keturunan Prabu Siliwangi.  Mungkin hal-hal tersebut yang mendasari dan melanggengkan praktek toleransi antar umat yang dilakoni oleh masyarakat Pulo Geulis hingga sekarang.


 Interior Vihara Mahabrahma yang sederhana



Beda vihara, beda bentuk tungku pembakaran


Sauyunan dina kabenteunan.  Tetap satu dalam perbedaan.  Kalimat itu yang saya ingat diucapkan oleh Pak Bram lebih dari sekali.  Terdengar kebanggaan dalam suaranya manakala menceritakan keaktifan warga Pulo Geulis yang saling memudahkan dalam beribadah berdasarkan keyakinan masing-masing.  Tak pernah ada bentrokan antar warga yang disebabkan oleh masalah agama.

Lalu saya flashback, ingatan kembali di tahun 1998.  Saat Indonesia diguncang reformasi, etnis Tionghoa dicekam teror di mana-mana.  Namun tidak di Bogor.

Baca juga Mengenang Mei 1998, Luka Lain Sebuah Bangsa

Kota Hujan yang hanya berjarak sekitar 60 Km dari pusat kekuasaan Indonesia, relatif kondusif. Warga memang waspada, namun tak menakutkan seperti Jakarta atau Solo.  Apakah ini juga refleksi sebuah toleransi ?  Semoga.

Ketidaktahuan melahirkan prasangka dan prasangka memenjarakan pikiran manusia. Begitu juga dengan asumsi awam tentang etnis Cina selama ini.  Padahal banyak bukti sejarah yang menyuguhkan bahwa pengaruh budaya Cina menambah kaya budaya negeri.  Rakyat negara ini memang harus berterima kasih pada Gus Dur sebab di era beliau 'tembok Cina' dirobohkan. Kekakuan pun perlahan melentur.  Sama seperti lenturnya jemaat vihara yang hari itu melihat kami sibuk berfoto dan bertanya ini-itu.

Pernahkah terbayangkan jika mereka yang berada di dalam mesjid karena rasa keingintahuan yang sama seperi rasa ingin tahu saya terhadap vihara ?  You never know...

Siang itu kami melintasi jembatan yang berbeda dengan jembatan ketika kami datang ke Pulo Geulis. Rupanya ada tiga jembatan yang digunakan sebagai akses keluar masuk pulau.  Ketika berjalan di atas jembatan, saya perhatikan permukaan arus Ciliwung yang tinggi karena bulan ini masih musim penghujan.

Imlek selalu identik dengan hujan.  Karena hujan menyuburkan tanah.  Tanah yang subur adalah panen. Dan panen adalah tanda kemakmuran.  Di sungai yang sama, sekian puluh tahun yang lalu, di situ tempat ibu saya sering berenang dengan teman-temannya.  Begitu cerita Ibu dulu.


Tulisan ini diikutsertakan dalam Telisik Imlek Blog Competition JakartaCorners
Yang di Sponsori oleh Batiqa Hotels







Post a Comment for "Grafiti Travel, Telisik Imlek di Pecinan Bogor"