Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menggali Ingatan di Braga Weg Travel



Di salah satu edisinya, Kompas menuliskan Braga Weg atau Jalan Braga, seruas jalan kuno di pusat jantung Kota Bandung yang penuh romantika itu kini berada di persimpangan perabadaban akibat derasnya modernisasi perkotaan.  Jalanan yang membujur 700m dari utara ke selatan itu dipenuhi bangunan kuno kolonial Belanda tanggal 18 Juni 2017 lalu ternyata sudah berusia 135 tahun.  Tidak heran jika Braga Weg sekarang mejadi salah satu tujuan wisata nostalgia, terutama wisatawan asing.  

Ruas jalan ini muncul di tahun 1882 saat Asisten Residen Bandung Pieter Sijthoff mendirikan kelompok tonil bernama Toneelvereniging Braga.  Semenjak saat itu, nama jalan yang sebelumnya bernama Karren Weg (Pedati Weg).  Sedangkan Gedung tonil itu kini menjadi Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung.  Konon, Jalan Braga adalah satu-satunya jalan di kota yang memiliki hari jadi dan galur sejarah.  Jalan yang sarat akan nilai budaya itu telah menjadi legenda.  


Harapannya Braga dijaga sebagai kawasan konservasi budaya, museum heritage, daerah pedestrian dan menjadi kawasan wisata eksotis khas yang melatarbelakangi kenangan akan Paris van Java.  Braga pun dikenal sebagai jalan eksklusif karena toko-tokonya mermiliki ciri khas, baik barang yang dijual maupun bentuk bangunannya.  Di jamannya dulu, tidak sembarang orang bisa berbelanja di pertokoan Jalan Braga ini.

Menurut literasi Sunda, nama Braga berasal dari kata ngabaraga yaitu berjalan benyusuri Sungai Cikapundung.  Berjalan menyusuri sungai disebut baraga.  Kata ngabaraga dapat diarartikan sebagai �memamerkan tubuh�.  Maka ngabaraga artinya �bergaya�, �nampang� atau mejeng.  Maka Braga menjadi tempat nampang dan menonton alias the place to see and to be seen.



Peter Sijthoff selain tidak bisa dipisahkan dari sejarah Braga, erat juga kaitannya dengan sejarah Kota Bandung yang kini berusia 208.  Dari semenjak menjabat sebagai Asisten Residen Priangan, beliau sudah mempunyai pandangan jauh ke depan untuk mengembangkan Kota Bandung yang awalnya eenkleine bergdessa (desa pegunungan) menjadi kottaje (kota kecil) hingga berlanjut menjadi kota besar yang dijuluki �Paris van Java� lewat komite yang dibentuknya.  Organisasi yang kemudian menjadi besar sesuai dengan perkembangan Bandung dikenal sebagai Bandoeng Vooruit (Bandung Besar). 

Organisasi inilah yang berjasa mengembangkan obyek pariwisata, bukan hanya Kota Bandung melainkan sampai ke Gunung Tangkuban Perahu dan Gunung Papandayan di Kabupaten Garut, 60 kilometer dari Bandung.  Merekalah yang melakukan penataan kota secara artistik dan menarik penuh pesona.  Karena itu, banyak pelancong berdatangan dari Eropa ke Bandung hingga kini.  Warisan itulah yang harus dipertahankan saat ini.  

***

Dan setelah sekian tahun, akhirnya beberapa waktu lalu saya dapat menyaksikan kembali warisan kemegahan kolonial yang masih berdiri di sepanjang jalan Braga.  Area pedestrian kelihatan rapih dan bersih minus sampah.  Thanks to Kang Emil -sang Walikota Bandung yang heits seantero dunia maya- yang tiada bosan mengubah kebiasaan baik warga maupun pendatang akan pentingnya membuang sampah pada tempatnya.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi, matahari sudah menajamkan teriknya namun baru beberapa pertokoan di sepanjang Jalan Braga yang menunjukkan aktifitasnya, terutama restoran dan warung kopi kekinian.  Namun tak sedikit tempat yang baru akan dibuka untuk pengunjung menjelang senja hingga dini hari.  Mereka-mereka inilah tampaknya pemegang teguh 'warisan' jaman kolonial baheula Jalan Braga yaitu sentra hiburan malam Kota Bandung.




Sambil melangkah, saya arahkan kamera ke spot-spot yang tampak menarik.  There's nothing can defeat the beauty of vintage.  Jalanannya masih sempit, namun yang dulunya aspal sudah berganti menjadi semacam paving block.  Tersedia pula bangku-bangku taman di sepanjang trotoar.  Desain toko beragam, dari yang artistik dengan tema vintage  hingga gaya minimalis kekinian.  Semuanya berlomba mencoba exist di Jalan Braga yang memang tempatnya untuk dilihat and to be seen.  

Keragaman lay out yang tak jarang unik membuat Braga kerap diabadikan para penggemar fotografi.  Dan tak heran jika kawasan ini sering dijadikan foto shot.  Mulai dari pre-wedding, shooting iklan hingga lokasi film.  Di siang itu pun, tidak hanya saya seorang yang berada di sana dengan kamera di tangan.  Sekelompok orang bahkan tak ragu dan malu untuk selfie dan wefie.  Negara ini memang demokrasi soal foto-foto ??




Perlahan ingatan melayang kembali di saat di mana saya duduk di bangku sekolah dasar. Jika ke Bandung, kami selalu menginap di kawasan ini, tepatnya Hotel Braga.  Lokasinya tidak jauh dari pertokokan Sarinah Bandung.  Masih jernih di ingatan, hotel dua lantai itu selain menyediakan untuk pengunjung Kota Paris van Java, juga menyediakan kamar untuk para driver.  

Sarapan berupa nasi goreng lengkap dengan kerupuk udang yang besar serta ceplok dan teh manis akan diantar ke kamar tamu setiap paginya.  Jika hendak menginginkan air panas untuk minum, tamu hotel harus minta ke bagian dapur hotel.  Setiap kamar dilengkapi dengan bathub jadul dan teras.   Di teras itulah biasanya kami memanggil pedagang keliling makanan yang lewat di depan hotel, mengingat Hotel Braga ini persis di pinggir Jalan Braga.  Malam harinya, kami biasa makan di Cikapundung.  Setelah sebelumnya menghabiskan sore di Jl. Asia Afrika atau sekitaran alun-alun dan Mesjid Raya Bandung.




Sayangnya setelah hampir satu jam menyusuri dua sisi Jalan Braga di siang itu, saya tidak bisa menemukan sama sekali jejak hotel seperti yang saya deskripsikan.  Sekeras apapun saya coba mengingatnya namun tak berhasil.  Mungkinkah kedua tempat historis itu sudah berubah fungsi atau bentuk?  

Saya tidak memberanikan diri untuk bertanya. Menilik dari orang yang lalu-lalang, tidak menjamin mereka penduduk lokal.  Pun dari usia, khawatir tidak ada yang cukup "tua" untuk dijadikan nara sumber guna memuaskan keingintahuan saya.  Apakah perlu saya bertanya pada orang-orang yang terlihat di beberapa toko tua?  Satu-dua memang nampak bangunan toko-toko yang sudah dimakan usia.  Tertatih berjualan diantara gerai penjual segala rupa kebutuhan atau restoran yang modern.  




Selain toko-toko yang sudah berusia, penjual lukisan di pelataran pedestrian mempertegas kenangan bahwa ini adalah Braga yang saya kenal dulu.  And it was so ironic, how those painting sellers can make myself into tears.

Lagipula napak tilas dadakan di Jalan Braga hari itu lebih merupakan suatu keputusan impulsif sebelum meninggalkan Bandung setelah penat oleh pekerjaan siang-malam selama dua hari kemarin.  Akhirnya saya cukupkan pencarian sepotong Braga hari itu dengan membatin tanya ditimpal rasa khawatir yang mungkin persis  dimiliki oleh para komunitas pecinta Kota Bandung akan alih fungsi tata kota dan bangunan historis kawasan Braga.




Walaupun ada setitik kecewa karena tak menemukan yang saya cari, biarlah tempat-tempat yang saya sebutkan tadi hanya berjejak dalam ingatan semata. Karena selama saya ada, selama itu pula kenangan akan Jalan Braga abadi dalam ingatan sebagaimana kenangan akan Apak dan Mamah (that's how I called my parents), orang-orang terkasih yang mengenalkan saya pada Bandung, akan selalu menghangatkan jiwa.

Memories are timeless treasures of the heart.


Post a Comment for "Menggali Ingatan di Braga Weg Travel"