Grafiti Travel, Rumah Unik Butik Lulu Lutfi Labibi
Yen tak itung-itung, di tahun 2017 ini ternyata saya sudah tiga kali menjejak Jogjakarta. Ketiganya dilakukan untuk occasion yang berbeda dan teman pergi yang nggak sama pula.
Mulanya saya senang hati saat rombongan diarahkan ke Kota Gede. Mendengar namanya saja sudah membubungkan khayal akan lorong-lorong kota beraroma vintage. Pastinya asik untuk foto hunting. Namun khayalannya langsung terjerembab saat salah satu teman membisikkan bahwa tujuan kali ini adalah butiknya Lulu Lutfi Labibi. Lho, jalan-jalan kok ke butik, emang ada yang mau shopping?
Lagipula, siapa pula itu Lulu? Lo nggak tahu, Na? Itu lho, perancang baju yang terkenal. Teman yang lain ikut menambahkan keterangan tentang orang yang dimaksud. Still, I have no idea ??
Di sepanjang gang, saya lihat aneka warna dan bentuk jendela serta pintu. Jalanan yang kami lewati pun relatif bersih, no sampah dan bebas bau pesing sebagaimana yang sering dijumpai di 'jalanan gang'. Bukti jika penduduk setempat menjaga benar kebersihan lingkungan. Saat berjalan kaki itulah saya merasakan Jogja sebagaimana yang saya tahu. Sesekali kami harus menepi, memberikan akses bagi pengendara motor yang melintas.
Setiap bangunan memiliki desain dan peruntukan yang berbeda. Bangunan yang terlihat di sebelah kiri tadi rupanya salah satu ruang kerja sang desainer. Bersebelahan dengan bangunan tersebut, yang berupa teras, tempat biasa Mas Lutfi menerima tamu-tamunya.
Kembali ke bagian muka dan melintasi lapangan di muka rumah joglo yang diperuntukan sebagai restoran, indra penglihatan saya tertumbuk pada bangunan lain di seberang lapangan. Walaupun bukan joglo, tapi sama menyuguhkan nostalgi akan rumah lama. Lagi-lagi mereka menjadi korban bidik kamera saya.
Entah berapa lama saya habiskan, mengeksplor lingkungan di sekitaran rumah sang desainer. Saking asiknya membidik, saya sampai lupa waktu dan kehilangan kesempatan wefie bareng sang perancang di akhir kunjungan hari itu. Belakangan saya baru tahu jika mas desainer yang membumi itu adalah langganan selebrities ibukota. Yaahh, walau tak membeli hasil rancangnya, minimal saya punya jejak rekam pernah berfoto bersama sang pemilik butik.
Jika wajah beberapa teman sumringah karena membawa karya Mas Lutfi. Hati saya membuncah karena berhasil menyimpan sepotong kecil wajah Kota Gede dalam flash disk kamera. What a lovely surprise!
Jogjakarta seakan tidak pernah lelah memberikan kejutan. Acapkali saya ke kota ini, selalu ada yang baru disuguhkan untuk memanjakan; tidak saja indra pengecap tapi juga mata bahkan emosi. Kejutan yang kadang berani tampil mandiri, tak jarang sembunyi dan harus kita cari terlebih dahulu. Seperti rumah butik unik Lulu Lutfi Labibi yang seolah tertimbun keriuhan Pasar Gede, di dalam gang dan tanpa penunjuk bahwa di dalam Kampung Pekaten, ada suasanan asri yang menyegarkan.
====
Trivia fact:
- Lulu Lutfi Labibi is one of talented Indonesian designer, origin from Jogjakarta, first winner of Lomba Perancan Mode (LPM) 2011.
- He is known for his draping techniques, similar with Japanese style. He is using local cloth such lurik, batik or mix of both. His creations is allowing his customer for mix & match even it is not a pair.
- For further, visit his fan page https://www.facebook.com/lulu.lutfilabibi
Kesamaan dari ketiga kunjungan adalah; mencoba kuliner lokal yang sedang hits plus mendatangi tempat wisata yang sedang 'in'. Dari semua tempat yang dikunjungi, ada satu yang catch my attention. Satu tempat unik yang saya datangi bersama rombongan teman-teman SMA.
Bagian Teras |
Mulanya saya senang hati saat rombongan diarahkan ke Kota Gede. Mendengar namanya saja sudah membubungkan khayal akan lorong-lorong kota beraroma vintage. Pastinya asik untuk foto hunting. Namun khayalannya langsung terjerembab saat salah satu teman membisikkan bahwa tujuan kali ini adalah butiknya Lulu Lutfi Labibi. Lho, jalan-jalan kok ke butik, emang ada yang mau shopping?
Lesehan di teras, serasa di rumah sendiri |
Lagipula, siapa pula itu Lulu? Lo nggak tahu, Na? Itu lho, perancang baju yang terkenal. Teman yang lain ikut menambahkan keterangan tentang orang yang dimaksud. Still, I have no idea ??
Begini salah satu resiko bepergian dalam rombongan. Tidak mudah menyatukan keinginan, menyelaraskan ide. Yowis, nikmati saja.
Hingga akhirnya shuttle bus berhenti di jantung Kota Gede. Tak jauh dari pasar yang jalannnya pas untuk dua mobil, kendaraan kami berhenti. Rupanya lokasi yang dituju masih harus ditempuh dengan jalan kaki. Kami masuk ke sebuah gang yang lebarnya hanya cukup dilewati oleh satu kendaraan roda empat. Ukuran yang terlalu kecil untuk shuttle bus yang kami pakai siang itu.
The Rumpies ^_^ Di kejauhan sana adalah mulut gang, Pasar Kota Gede |
Hingga akhirnya shuttle bus berhenti di jantung Kota Gede. Tak jauh dari pasar yang jalannnya pas untuk dua mobil, kendaraan kami berhenti. Rupanya lokasi yang dituju masih harus ditempuh dengan jalan kaki. Kami masuk ke sebuah gang yang lebarnya hanya cukup dilewati oleh satu kendaraan roda empat. Ukuran yang terlalu kecil untuk shuttle bus yang kami pakai siang itu.
Di sepanjang gang, saya lihat aneka warna dan bentuk jendela serta pintu. Jalanan yang kami lewati pun relatif bersih, no sampah dan bebas bau pesing sebagaimana yang sering dijumpai di 'jalanan gang'. Bukti jika penduduk setempat menjaga benar kebersihan lingkungan. Saat berjalan kaki itulah saya merasakan Jogja sebagaimana yang saya tahu. Sesekali kami harus menepi, memberikan akses bagi pengendara motor yang melintas.
Rasanya tak jauh kami melangkah dari pinggir jalan, penglihatan langsung dihadapkan dengan tanah lapang -mungkin hampir sepertiga lapangan sepak bola- berikut deretan rumah joglo dengan ukuran besar di bagian belakangnya. Bentuk tanah yang demikian rupa biasanya disebut ngantong. Ada sebagian orang meyakini, model tanah seperti ini mendatangkan hoki bagi pemiliknya. Wallahu alam.
Rombongan bergerak ke arah kiri lapangan. Di sebelah kiri berdiri beberapa bangunan, Bentuknya tidak besar dengan desain yang tidak kekinian. Kesan teduh langsung menyambut mata karena selain memang dirimbuni banyak pepohonan, material kayu menguatkan suasana teduh yang diinginkan. Teduh dan homy, tepatnya. Well, begitu sih yang saya rasakan.
Sebagain dari kami ada yang mengarahkan langkah ke sebelah kanan. Langsung lesehan di meja-meja rendah yang ditata rapih pada pelataran sebuah rumah joglo yang luas. Nampak piring berisi jadah dan kacang dibungkus plastik dalam toples kaca bening model jadul. Toples yang melemparkan ingatan akan toples milik mbah saya, dulu.
Di saat itulah saya baru menyadari jika rumah sekaligus butik ini ternyata unik. Rupanya keunikan rumah Lulu ini sudah diketahui khalayak terutama penggemar karya-karya Lulu. Waalaah, ketahuan kurang gaulnya, nih!
sumber foto: instagy.com/user/lululutfilabibi/media/3 |
Sumber foto: dewimagazine.com |
Salah satu rumah di Kampung Pekaten |
Nggak cuma di situ. Bagian dalamnya makin unik. Ruang display baju karya sang desainer dibiarkan bebas bergantungan di sebuah ruangan panjang yang kaya sinar matahari karena sebagian ruangnya full kaca. Di seberang ruang display terlihat ruang galeri. Dua ruangan tersebut dipisahkan oleh kolam panjang berisi teratai. Sebuah jembatan kayu kecil menghubungkan keduanya.
Tenggelam dalam rasa penasaran akan uniknya rumah tersebut, saya memilih untuk menjelajah area di sekitaran sementara kawan-kawan lain sibuk memilah pakaian sang perancang.
Kembali ke bagian muka dan melintasi lapangan di muka rumah joglo yang diperuntukan sebagai restoran, indra penglihatan saya tertumbuk pada bangunan lain di seberang lapangan. Walaupun bukan joglo, tapi sama menyuguhkan nostalgi akan rumah lama. Lagi-lagi mereka menjadi korban bidik kamera saya.
Entah berapa lama saya habiskan, mengeksplor lingkungan di sekitaran rumah sang desainer. Saking asiknya membidik, saya sampai lupa waktu dan kehilangan kesempatan wefie bareng sang perancang di akhir kunjungan hari itu. Belakangan saya baru tahu jika mas desainer yang membumi itu adalah langganan selebrities ibukota. Yaahh, walau tak membeli hasil rancangnya, minimal saya punya jejak rekam pernah berfoto bersama sang pemilik butik.
Jika wajah beberapa teman sumringah karena membawa karya Mas Lutfi. Hati saya membuncah karena berhasil menyimpan sepotong kecil wajah Kota Gede dalam flash disk kamera. What a lovely surprise!
Jogjakarta seakan tidak pernah lelah memberikan kejutan. Acapkali saya ke kota ini, selalu ada yang baru disuguhkan untuk memanjakan; tidak saja indra pengecap tapi juga mata bahkan emosi. Kejutan yang kadang berani tampil mandiri, tak jarang sembunyi dan harus kita cari terlebih dahulu. Seperti rumah butik unik Lulu Lutfi Labibi yang seolah tertimbun keriuhan Pasar Gede, di dalam gang dan tanpa penunjuk bahwa di dalam Kampung Pekaten, ada suasanan asri yang menyegarkan.
_________
====
Trivia fact:
- Lulu Lutfi Labibi is one of talented Indonesian designer, origin from Jogjakarta, first winner of Lomba Perancan Mode (LPM) 2011.
- He is known for his draping techniques, similar with Japanese style. He is using local cloth such lurik, batik or mix of both. His creations is allowing his customer for mix & match even it is not a pair.
- For further, visit his fan page https://www.facebook.com/lulu.lutfilabibi
Post a Comment for "Grafiti Travel, Rumah Unik Butik Lulu Lutfi Labibi"